Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik tentang Coaching belakangan ini, “Bagaimana jika ada seseorang datang pada seorang Coach, seorang koruptor, dan berminat menjadi klien coaching saya dengan tujuan
untuk dapat korupsi lebih banyak dan tanpa ketahuan? Akankah diterima?”
Jawabannya tentu saja tidak. Namun
pertanyaan serupa itu menghadirkan tanya lain yang lebih esensial: Lalu adakah
batasan dalam coaching? Tentang apa coaching sebenarnya? Insan seperti apa kah
yang ingin dibentuk melalui coaching?
About Coaching |
Beberapa tulisan karya L. Michael Hall tentang psikologi aktualisasi diri,
sebuah penelusuran lebih lanjut dari teori-teori Maslow dkk dengan menggunakan
NLP dan NS. Hall berpendapat, bahwa coaching adalah sebuah metodologi, yang di
belakangnya berdiri sebuah konsep psikologi. Dan konsep psikologi yang paling
cocok dengan coaching adalah psikologi manusia sehat. Ia pun menegaskan bahwa
konsep aktualisasi diri yang diusung Maslow dkk, dan kini kita lihat
dikembangkan lebih lanjut dalam ranah psikologi positif, adalah psikologi
aktualisasi diri. Ya, psikologi aktualisasi diri adalah psikologinya coaching.
Dengan kata lain, coaching adalah metode untuk memfasilitasi proses mencapai
aktualisasi diri.
Merujuk pada The 7 Habits of Highly Effective People yang dikembangkan oleh
Stephen R. Covey. Konsep manusia efektif yang diusung Covey, sungguh selaras dengan konsep aktualisasi diri Maslow, dan karenanya selaras
pula dengan coaching. Pertanyaan, “Seperti apa kah kondisi manusia yang ingin
dicapai melalui coaching?” akan terjawab oleh The 7 Habits.
Bagaimana ceritanya?
OK. Bagi Anda yang belum familiar dengan
The 7 Habits, saya akan rangkumkan inti-intinya ya. Detilnya silakan baca
sendiri di bukunya yang hingga kini sudah 25 tahun lebih dan masih laris manis.
The 7 Habits of Highly Effective People |
The 7 Habits adalah sebuah model yang
dapat kita gunakan untuk memetakan kondisi kita kini, dan menumbuhkannya lebih
lanjut. Ia bermula dari sebuah riset mendalam yang dilakukan oleh Stephen R.
Covey tentang kesuksesan. Dari studi yang ia lakukan terhadap 200 tahun
literatur yang pernah terbit tentang kesuksesan, muncul sebuah pola yang
meresahkan. Pada 150 tahun pertama (riset dilakukan tahun 1975), yakni
1775-1925, literatur yang terbit tentang kesuksesan selalu bicara karakter.
Yakni, ajaran di masa itu, jika kita ingin sukses, maka kembangkanlah hal-hal
seperti kejujuran, kerja keras, ketekunan, cinta kasih, dll.
Namun pada 50
tahun berikutnya, dan berlanjut sampai sekarang, literatur tentang kesuksesan
rupanya berubah arah, yakni banyak membicarakan kepribadian. Yakni, jika kita
ingin sukses, maka belajarlah untuk lebih percaya diri, perbaiki penampilan,
belajarlah persuasi dan komunikasi, dll. Hal-hal yang positif sebenarnya, namun
kala tidak dibarengi dengan karakter yang kuat, maka berpotensi melahirkan
orang-orang yang menginginkan segalanya serba instan.
Covey kemudian mengajak kita untuk kembali pada pembangunan karakter. Sebab seseorang yang karakternya lemah, katanya, ibarat pohon yang mungkin tampak indah di luar, namun goyah akarnya. Jadilah ia orang yang mudah terombang-ambing dan roboh. Bukankah kita temukan belakangan ini orang-orang yang tersangkut kasus kejahatan adalah mereka yang berpendidikan tinggi? Pengembangan yang fokus pada hal-hal yang tampak luar, jika tak ditopang terlebih dulu dengan yang di dalam, sungguh mudah jatuh hanya sebab diterpa angin.
Dari hasil risetnya tersebut, Covey
merumuskan sebuah model yang ia sebut sebagai The 7 Habits of Highly Effective
People. Ia sengaja menggunakan kata efektif, sebab kata ini melampaui
kesuksesan. Jika kesuksesan berarti mencapai yang kita inginkan, maka
efektivitas adalah mencapainya berkali-kali, dengan lebih baik, dalam jangka
panjang. Dan hal ini mustahil terjadi kecuali lewat terlebih dahulu membangun
karakter yang kokoh. Kata ‘kebiasaan’ juga bukan asal dipilih, sebab membangun
karakter sejatinya adalah membangun kebiasaan—sesuatu yang dilakukan
berulang-ulang hingga berjalan dengan sendirinya tanpa perlu dipikirkan lagi.
Klop dengan ungkapan bijak dari Samuel
Smiles, “Menabur pikiran, menuai tindakan. Menabur tindakan, menuai kebiasaan.
Menabur kebiasaan, menuai karakter. Menabur karakter, menuai nasib.”
The 7 Habits mengajak kita untuk
menapaki perjalanan mematangkan diri. Manusia memulai kehidupan dari tahapan
tergantung, lalu beranjak ke kemandirian, dan berpuncak pada
kesalingtergantungan. Untuk dapat naik dari tahapan tergantung ke kemandirian,
kita perlu membiasakan 3 hal, yakni:
- Be Proactive. Bertanggung jawab atas diri, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain dan kondisi. Lawannya adalah reaktif.
- Begin with the End in Mind. Karena orang yang sangat efektif bertanggung jawab pada diri, ia pun bertanggung jawab pada masa depannya. Jadilah ia selalu memulai segala sesuatu dari tujuan akhir yang ingin dicapai. Lawannya adalah orang yang ikut arus.
- Put First Things First. Setelah tujuan akhir ditetapkan, ia pun diwujudkan dengan memastikan setiap aktivitas penting yang mengantar ke sana didahulukan. Lawannya adalah orang yang mendahulukan yang mendesak.
Namun kemandirian, ujar Covey, bukanlah
akhir dari kehidupan yang efektif. Orang yang sangat efektif bukanlah ia yang
bekerja sendiri, melainkan ia yang sanggup berkolaborasi, dan menjadi bagian
dari kehidupan yang besar. Dan untuk menapaki tangga kemandirian hingga
mencapai tahapan kesaling tergantungan, kita memerlukan 3 kebiasaan, yaitu:
- Think Win-Win. Karena orang-orang mandiri sama-sama merasa mampu mengerjakan banyak hal sendiri, maka kebiasaan pertama yang diperlukan untuk dapat berkolaborasi adalah berpikir menang-menang. Niat untuk memastikan bahwa setiap orang merasa mendapatkan kemenangan. Lawannya adalah berpikir menang-kalah, kalah-menang, atau kalah-kalah.
- Seek First to Understand, then to be Understood. Setelah niat dipasang untuk saling memenangkan, praktik nyatanya adalah dengan bersedia untuk memahami orang lain terlebih dahulu, sebelum kemudian minta dipahami.
- Synergize. Dan buah dari semua itu adalah terjadinya sinergi, yakni kerjasama yang kreatif, yang menghasilkan hal-hal yang lebih baik daripada ketika dikerjakan sendiri-sendiri. Sinergi lebih dari sekedar bekerja bersama-sama. Sinergi adalah proses mengolah kelebihan hingga menjadi sesuatu yang baru. Lawannya adalah kompromi dan konflik.
Sementara itu, fitrah manusia kerap
berubah, semangat naik turun. Maka perlu ada kebiasaan yang diperlukan untuk
menjaga keberlangsungan seluruh kebiasaan tadi. Ia adalah:
- Sharpen the Saw. Orang-orang yang sukses berkepanjangan adalah ia yang tekun mengasah diri dalam 4 dimensi: spiritual, inteleksual, sosial, dan fisikal. Ia meluangkan waktu sejenak untuk menyegarkan diri, sebelum maju kembali.
7 Habits ini lah
setidaknya standar minimal manusia sehat itu. Maka seorang coach yang tidak
mendapati kliennya menjalankan salah satu kebiasaan, dapat mengenali dan
membantunya untuk dapat menjalankan kebiasaan itu kembali.
Contoh, aslinya seseorang itu proaktif,
bertanggung jawab atas dirinya, mampu memilih pikiran-perasaan tanpa pengaruh
lingkungan. Maka saat ia reaktif, seorang coach dapat memfasilitasi proses
untuk mengajak klien menjadi proaktif kembali.
Dalam Kebiasaan 1, dipelajari materi
tentang Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Kepedulian. Lingkaran Kepedulian
adalah hal-hal yang hanya bisa dipikirkan namun tak dapat dipengaruhi. Orang
yang reaktif banyak berfokus di sini. Sementara itu, Lingkaran Pengaruh adalah
hal-hal yang dapat dipengaruhi secara langsung. Di lingkaran ini lah orang
proaktif memfokuskan pikiran dan tindakannya. Maka melihat kliennya yang
reaktif, seorang coach bisa bertanya, “Mencermati kondisi yang Anda ceritakan
tadi, apa saja kah hal-hal yang bisa Anda lakukan, dan pengaruhi secara
langsung?”
Materi lain dalam Kebiasaan 1 adalah
bahasa proaktif dan bahasa reaktif. Bahasa reaktif, adalah kata atau kalimat
yang ketika diucapkan akan membuat seseorang berada dalam kondisi pikiran dan
perasaan yang tidak produktif. Sementara bahasa reaktif adalah kata atau
kalimat yang kala diucapkan akan menjadikannya semangat, positif, dan fokus
pada aktivitas yang bermanfaat. Maka coach yang mendapati kliennya menggunakan
kalimat seperti, “Mau apa lagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa, inilah saya!”,
bisa bertanya membantu kliennya untuk menggunakan bahasa proaktif seperti,
“Apakah kalimat barusan membuat nasib Anda lebih baik? Apa kalimat yang mungkin
membuat Anda lebih bersemangat?”
Contoh lain, ketika seorang coach
mendapati kliennya tidak mencapai target karena belum mampu mengelola aktivitas
eksekusinya dengan baik (terkait kebiasaan 3). Maka ia bisa memfasilitasi
kliennya dengan berkata, “Apa satu hal, yang Anda tahu, jika Anda kerjakan maka
akan secara bertahap membantu Anda mencapai target Anda bulan ini?” Dengan
bertanya hal ini, sang coach sedang membantu kliennya untuk menentukan aktivitas utamanya yang diperkirakan mengarahkan seseorang mencapai
tujuan.
Begitu pula jika seorang coach mendapati
kliennya hidup tak seimbang (terkait kebiasaan 7), ia bisa bertanya, “Mana kah
dimensi diri Anda yang saat ini sedang Anda abaikan?”
0 komentar:
Posting Komentar